Musik SATAN ?

Sejauh ini, pemunculan aliran musik ini cukup mengundang kontroversi dan perdebatan. Tabloid Adil sempat menurunkan laporan utama mengenai aliran ini, bertitel "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Beberapa orang tua mengaku cemas mengamati anak mereka suka menyebut-nyebut Lucifer dan memasang atribut-atribut underground di kamarnya.
Personil dan fans aliran musik ini dapat dikenal melalui kostum kebesaran hitam-hitam (belakangan bermunculan pula corak warna lain) dengan hiasan nama dan lambang-lambang grup metal. Khusus para penggemar black metal, mereka suka mengenakan masker bermotifkan wajah setan.
Sangkakala berkesempatan melihat aksi mereka dari dekat ketika menyaksikan pentas "Benteng Bawah Tanah" di Yogyakarta, Minggu (7/12). Mereka berpolah mulai dari memutar-mutar kepala (head bang), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris, membakar dupa dan menaburkan bunga hingga menggotong tengkorak binatang. Seorang penonton bahkan sempat meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.
Selain itu, juga disajikan kostum-kostum khas yang antara lain menampilkan gambar Yesus disalib dengan isi perut terburai keluar, setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram, hingga gambar gadis telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya.
Benarkah mereka pemuja setan? Sulit memang untuk melacaknya. Penggemar aliran ini jelas-jelas menolak anggapan tersebut.
Ketika menjumpai mereka di luar panggung, Sangkakala melihat kehidupan mereka tidak seseram yang dibayangkan. Solidaritas dan jaringan komunikasi di antara sesama undergrounder (sebutan bagi penggandrung aliran ini) justru terlihat kuat. Tak jarang mereka melakukan koordinasi antarkota, gotong-royong dan urunan untuk membayar pentas, mengingat masih langka pihak sponsor yang bersedia menyuntikkan dana.
Aliran ini muncul lebih sebagai protes terhadap aliran mainstream atau grup-grup mayor label. Mereka menganggap grup-grup itu menarik keuntungan komersial dengan bermain musik secara gampangan.
Grup-grup underground di Barat memang ada yang terang-terangan mengaku sebagai pemuja setan. "Tapi kalau di Indonesia, terlahir karena ingin berekspresi," kata Eko dari Mortal Scream.
Mereka juga menyadari keberadaannya di tengah budaya Timur, "Jadi kita cenderung mengambil aksi panggungnya saja, sekadar sensasi," tutur Eko lebih lanjut.
Penontonlah, konon, yang justru tidak tahu diri. "Penonton yang cuma ikut-ikutan, yang disebut abal-abal itu, yang sering keterlaluan. Nggak 'ngerti apa-apa sudah 'ngaku satanis," jelas Eko.
Dewo ikut menambahkan, undergrounders yang dikenalnya "kebanyakan orang-orangnya humanis sekali dan peka terhadap sekelilingnya".
Kepekaan inilah yang selanjutnya dituangkan melalui lirik-lirik lagu mereka, yang rata-rata bercerita tentang kebencian, pemberontakan, kematian dan bahkan kekuasaan setan di dunia.
"Musisi brutal death metal biasanya menggotong tema-tema kematian," kata Pandu, vokalis Ruction.
"Ruction sendiri banyak mengambil tema-tema sosial seperti kemunafikan serta kesadisan manusia. Misalnya, tentang pembunuhan: kita menculik orang, lalu menyiksanya untuk kepuasan diri sendiri." Pandu mengaku mengambil kisah nyata dari koran, seperti kasus ibu yang membunuh dan memotong-motong anaknya, dan dari buku-buku perang.
Gendon, vokalis dan penulis lirik Mortal Scream, mengungkapkan hal senada. "Biasanya kita mengambil masalah kemanusiaan. Maksudnya, sisi buruk manusia itu sendiri, seperti 'nggak punya moral, pemerkosa, penghujat," ujarnya.

Postingan populer dari blog ini

Tahun Mencekam Di kota Kediri

AS puji Indonesia

Google diblokir ? masih ada search engine lain