Parpol jadi sebab kacaunya sepakbola INDONESIA



Fakta telah membuktikan bahwa keberadaan politisi dan banyaknya bendera PARPOL dalam kepengurusan PSSI era kepengurusan Nurdin Halid telah melahirkan “kolonialisme” sepakbola. Hasilnya, selama 8 tahun kepengurusan Nurdin Halid perkembangan sepakbola Indonesia seperti mati suri. Tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan bagi bangsa yang masyarakatnya sangat meng-gila-i sepakbola ini. Yang terjadi justru penggunaan uang rakyat (APBD) hingga puluhan milyar rupiah per tahun. Bahkan menurut Djoko Driyono, CEO PT Liga Indonesia, sebuah klub harus menyiapkan dana berkisar 30-50 milyar/tahun untuk bisa mengikuti kompetisi ISL hingga usai. Tentu ini jumlah uang yang sangat besar, yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Di berbagai negara maju dimana sepakbola sudah menjadi industri, politisi memang sering bersinggungan dengan sepakbola. Sebutlah, Silvio Berlusconi yang menghabiskan uangnya untuk menjadikan timnya AC Milan sebagai tim juara. Bahkan politisi Inggris, Gordon Brown mempunyai formula khusus hubungan antara politik dan sepakbola. Dalam teorinya, Gordon Brown menyampaikan dalam bahasa sederhana, Sepakbola = Popularitas, dan seorang politisi membutuhkan popularitas. Artinya, jika anda mampu mengendalikan sepakbola dan menjadi sosok penting dalam sepakbola maka anda telah menjadi orang yang populer. Dengan kepopuleran tersebut maka anda bisa memenangkan apapun dalam pertarungan politik. Dan Silvio Berlusconi telah membuktikan kebenaran formula Gordon Brown.

Politik juga sering menjadi bumbu penyedap dalam sepakbola. Lihatlah, pertandingan antara Iran vs Amerika Serikat selalu menjadi Big Match bukan karena prestasinya melainkan karena persaingan politik. Contoh lain, pertandingan Real Madrid vs Barcelona juga mencerminkan persaingan politik klub ibukota dengan klub catalan.

Meskipun memiliki persamaan dalam hal popularitas, politik dan sepakbola memiliki cara yang berbeda dalam mencapai tujuannya. Dalam sepakbola untuk menjadi juara harus melalui kompetisi dan persaingan yang ketat, sportif dan mengutamakan fair play. Juaranya ditentukan dengan jumlah kemenangan dan goal ke gawang lawan. Sedangkan politik dalam mencapai tujuannya lebih sering menggunakan cara-cara kotor atau menghalalkan segala cara untuk muncul sebagai pemenang.

Politik Bisa Jadi Racun Bagi Sepakbola Indonesia
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia yang masih terus berkembang. Seperti di negara maju lainnya dimana sepakbola sudah menjadi industri, politisi Indonesia juga sering menggunakan sepakbola sebagai kuda troya untuk meraih kekuasaan. Sepakbola dijadikan ajang untuk menarik simpati rakyat. Lihatlah kunjungan TIMNAS Indonesia yang sedang berlaga di piala AFF tahun lalu ke rumah ketua Partai GOLKAR, Aburizal Bakrie. Simak juga pernyataan ketua umum PSSI sebelumnya, Nurdin Halid, dihadapan kader GOLKAR jelang PILKADA di wilayah Sulawesi yang mengatakan, “Keberhasilan TIMNAS di piala AFF adalah berkat kerja keras Partai GOLKAR.” Perhatikan juga kesibukan Lalu Mara, jubir keluarga Aburizal Bakrie yang juga merupakan fungsionaris Partai Golkar sangat bernafsu menyeret kasus pengunduran Diego Michiels dari klub Pelita Jaya ke arena politik dengan melaporkan kasus tersebut ke DPR, lembaga politik yang sebagian besar anggotanya terdiri dari orang-orang Partai GOLKAR dan Demokrat.

Bagi para politisi yang membutuhkan popularitas, sepertinya semua aspek kehidupan harus dilakukan politisasi. Melalui jalan politik mereka ingin melampiaskan nafsunya, nafsu untuk memerintah, menguasai segalanya dan nafsu kekuasaan. Untuk melampiaskan nafsu tersebut mereka bisa menghalalkan segala cara.

Di Indonesia, sepakbola merupakan olahraga paling populer dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan bisa jadi ada yang menganggapnya sebagai agama kedua. Oleh karenanya wajar ketika sepakbola digunakan untuk menarik simpati publik. Namun demikian politik bisa menjadi racun bagi sepakbola ketika dijadikan alat meraih kekuasaan sesaat, sapi perahan dan menghilangkan unsur pembinaan, sportifitas serta menihilkan prestasi.

Lihatlah, para pembina dan ketua umum klub-klub Indonesia yang mengaku klub profesional sebagian besar adalah para politisi yang menggunakan sepakbola sebagai kuda troya. Akibatnya, untuk pencitraan, mereka beramai-ramai menggunakan uang rakyat (APBD) untuk membeli para pemain asing dan pemain bintang. Coba anda hitung berapa jumlah perputaran uang dalam kompetisi jika setiap klub minimal harus menyediakan 30 milyar dengan jumlah klub 18 untuk level 1 dan 40 untuk divisi utama. WOW, jumlah yang sangat luar biasa bukan? Uang rakyat habis hanya untuk membiayai pencitraan para politisi melalui sepakbola yang NIHIL prestasi. Akibatnya, hingga kini sepakbola Indonesia menjadi mati suri. Ibaratnya, jika negara tetangga sudah berkompetisi di bulan dengan segala prestasinya, maka Indonesia masih berkutat dengan politik pencitraan untuk memenangkan PILKADA. Lihatlah, kengototan dan pernyataan perang terbuka yang dikemukakan oleh Hinca Panjaitan (Partai Demokrat), Toni Apriliani (Partai Golkar), dan La Nyalla Matalitti (Partai Patriot) yang siap membuat KLB meskipun FIFA dengan tegas tidak mengakui keberadaan KPSI. Bahkan dalam sebuah dokumen mereka telah meyiapkan berbagai strategi untuk merebut kembali PSSI dari para revolusioner. Sekedar mengingatkan kembali, Hinca Panjaitan adalah politisi Partai Demokrat yang menjabat sebagai Ketua KOMDIS saat era Nurdin Halid. Hinca Panjaitan juga orang yang sangat getol membela Nurdin Halid dan PSSI ketika di demo oleh ribuan suporter dan dibekukan oleh pemerintah melalui lex sportiva-nya. Kita tentu masih ingat, dalam 8 tahun kepengurusan mereka (Nurdin Halid, Hinca Panjaitan dkk) tidak ada prestasi sama sekali alias gagal total.

Maka sangat menarik pernyataan Dahlan Iskan, menteri BUMN yang namanya saat ini sedang berkibar, bahwa “Sepakbola Indonesia terlalu politis karena terlalu banyak bendera PARPOL didalamnya.” Sepakbola tidak lagi dimainkan dilapangan hijau, tetapi dipindahkan ke hotel-hotel mewah berbintang. Karena dijadikan gelanggang politik, maka yang terjadi adalah kutukan demi kutukan yang justru menghancurkan sepakbola. Dalam bahasa “SINISME” untuk menyindir para politisi, Dahlan Iskan mengatakan ” jika dia menjadi ketua umum PSSI, maka langkah pertama yang akan dilakukan adalah memotong generasi dengan menerapkan anak-anak muda dan membersihkan sepakbola dari politisi dan politisasi.”

Jika Dahlan Iskan saja ingin menghilangkan unsur politik dalam sepakbola Indonesia, bagaimana dengan anda?
Di akhir tulisan, saya ingin mengutip kembali pernyataan wakil presiden FIFA, Pangeran Ali Bin Al-Hussein ketika berkunjung ke Indonesia yang mengatakan, “Jangan ada politisasi dalam sepakbola.”

Postingan populer dari blog ini

Tahun Mencekam Di kota Kediri

AS puji Indonesia

Google diblokir ? masih ada search engine lain